Cinta adalah topik pembicaraan yang tidak akan pernah usang untuk dibahas. Berbagai kalangan, baik tua maupun muda turut membicarakannya, tidak ketinggalan kalangan yang fujjar (hobi maksiat) maupun kalangan alim ulama pun turut memperbicangkannya.
Perbincangan Manusia Mengenai Cinta
Banyak perbincangan orang mengenai cinta ini, al Imam Ibnu al Qayyim rahimahullah menyampaikan beberapa perkataan mengenai cinta,
Al ‘Abbas bin Al Ahnaf mengatakan,
وما الناس إلا العاشقون ذوو الهوى … ولا خير فيمن لا يحب ويعشق
Setiap manusia mesti memiliki cinta…tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak memiliki cinta[1]
Abu Naufal pernah ditanya,
هل يسلم أحد من العشق فقال نعم الجلف الجافي الذي ليس له فضل ولا عنده فهم فأما من في طبعه أدنى ظرف أو معه دمائة أهل الحجاز وظرف أهل العراق فهيهات
“Apakah seorang bisa menghindar dari cinta?” Dia menjawab, “Bisa, (asalkan dia adalah seorang yang) berhati keras dan kurang ajar, yang tidak memiliki keutamaan dan kepintaran. Walaupun seorang hanya memiliki perangai dan akhlak penduduk Hijaz dan Irak yang paling rendah sekalipun, maka tentu dia tidak akan bisa menghindar dari yang namanya cinta.”[2]
‘Ali bin ‘Abdah berkata,
لا يخلو أحد من صبوة إلا أن يكون جافي الخلقة ناقصا أو منقوص الهمة أو على خلاف تركيب الاعتدال
“Tidak mungkin seorang bisa terlepas dari cinta, kecuali dia adalah seorang yang buruk perangai, loyo (tidak bergairah) atau kurang waras.”[3]
Demikianlah, diri kita tidak mungkin terlepas dari sesuatu yang namanya cinta.
Jenis-jenis Cinta
Cinta ternyata dapat membawa seorang kepada kebahagiaan dan tidak sedikit orang yang hanyut oleh arus cinta sehingga terjerumus ke dalam kesengsaraan. Pertanyaannya, cinta manakah yang bisa membawa kepada kebahagiaan dan cinta manakah yang bisa membawa kepada kesengsaraan?
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terdapat empat jenis cinta yang harus dibedakan sehingga tidak timbul persepsi yang salah sehingga menyebabkan seorang tersesat. Berikut penjelasannya,
• Mahabbatullah (cinta kepada Allah). Cinta kepada Allah saja tidak cukup untuk menyelamatkan seorang dari siksa Allah dan mendapatkan pahala dari-Nya karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan yang lainnya juga mencintai Allah.
Allah ta’ala berfirman, (yat),
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Al Maa-idah: 18).
• Mahabbatu ma yuhibbullah (mencintai apa yang dicintai Allah). Jenis cinta inilah yang memasukkan seorang ke dalam Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Kecintaan Allah terhadap seorang berbanding lurus dengan kadar kecintaan jenis ini. Contoh kecintaan ini adalah cinta kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, cinta seorang terhadap berbagai peribadatan kepada Allah.
• Al Hubbu fillah wa lillah (kecintaan karena Allah dan di jalan Allah). Kecintaan ini merupakan syarat dari kecintaan kepada apa yang dicintai oleh Allah (mahabbatu ma yuhibbullah). Mencintai apa yang dicintai Allah tidak akan lurus kecuali jika ia mencintai karena Allah dan di jalan Allah.
Ilustrasi akan hal ini adalah sebagai berikut, seorang muslim tentu mencintai rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ketika cinta ini tidak dilakukan di jalan Allah, tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, maka cinta ini terkadang menjadi sebuah kemaksiatan atau kesyirikan. Diantara contohnya adalah kecintaan seorang yang berkata dalam sya’irnya,
يا رسول الإله إني ضعيف فاشفعني أنت مقصد للشفاء
يا رسوا لإله إن لم تغثني فإلى من ترى يكون التجائي
Wahai rasulullah, sesungguhnya aku tidak berdaya
Maka berilah syafaat untuk diriku, dirimulah harapanku untuk sembuh
Wahai rasululah, jika engkau tidak menolongku
Kepada siapa lagi aku berlindung[4]
Sya’ir di atas merupakan bentuk kecintaan orang tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun demikian, kecintaan tersebut tidaklah bermanfaat bagi orang itu, karena tidak dilakukan di atas tuntunan Allah ta’ala, karena Allah ta’ala memerintahkan nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan,
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١٨٨)
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raaf: 188).
Contoh lain cinta jenis ketiga ini adalah kecintaan seorang muslim kepada saudaranya yang dilandasi atas dasar keimanan,
عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه وسلم أن رجلا زار أخا له في قرية أخرى فأرصد الله له على مدرجته ملكا فلما أتى عليه قال أين تريد ؟ قال أريد أخا لي في هذه القرية قال هل لك عليه من نعمة تربها ؟ قال لا غير أني أحببته في الله عز وجل قال فإني رسول الله إليك بأن الله قد أحبك كما أحببته فيه
“Ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di suatu daerah lain. Maka Allah mengirim malaikat untuk mengintai perjalanannya. Ketika lelaki itu bertemu dengan sosok penjelmaan malaikat tersebut, malaikat itu bertanya kepadanya, “Anda hendak kemana?”. Lelaki itu menjawab, “Saya ingin menemui seorang saudara –seagama- saya yang ada di daerah ini.” Malaikat itu bertanya, “Apakah anda mengharapkan tambahan nikmat (dunia) dengan menemuinya?”.
Dia menjawab, “Tidak. Hanya saja saya ingin mengunjunginya karena saya mencintainya karena Allah ‘azza wa jalla.” Malikat itu pun berkata, “Sesungguhnya aku dikirim oleh Allah untuk menemuimu dan memberitakan kepadamu bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu telah mencintainya karena diri-Nya.”[5]
Kecintaan pria di atas adalah kecintaan karena Allah dan di jalan Allah, dia mencintai saudaranya bukan dikarenakan tendensi-tendensi yang bersifat duniawi, namun kecintaannya tersebut dilandasi keimanan terhadap Allah ta’ala.
• Al Mahabbah ma’allah (cinta mendua kepada Allah). Artinya dia mencintai selain Allah dan juga mencintai Allah dengan kadar yang sama. Ini merupakan cinta syirik. Setiap orang yang mencintai sesuatu dengan kecintaan yang sama kepada Allah, bukan dilakukan karena Allah atau di jalan-Nya, maka ia telah menjadikan objek yang dicintainya sebagai tandingan selain Allah. Inilah jenis kecintaan orang-orang musyrik.
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ (١٦٥)
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165)
.
• Al Mahabbah ath thabi’iyyah (kecintaan manusiawi). Kita diperbolehkan melakukannya, yaitu kecenderungan seorang kepada apa yang disenangi dan yang sesuai dengan watak dan nalurinya. Seperti orang haus, tentu dia akan mencintai air, beitupula ketika lapar, dia akan mencintai makanan, dia senang tidur, mencintai istri dan anak.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (Al Munafiqun: 9).
Ini bukan cinta yang dicela kecuali jika hal itu telah melalaikan dari mengingat Allah dan menyibukkan diri dari cinta kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman, (yat),
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan shallallahu ‘alaihi wa sallamah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran:14).
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٢٤)
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At Taubah: 24).
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (٩)
Demikianlah pembagian cinta menurut imam Ibnul Qayyim yang beliau sampaikan dalam kitab Al Jawaabul Kaafi.
Di tempat yang lain, imam Ibnul Qayyim juga menyimpulkan pembagian cinta. Tidak mengapa kita cantumkan perkataan beliau disini untuk menambah faedah. Kata beliau,
فالمحبة النافعة ثلاثة أنواع : محبة الله ومحبة في الله ومحبة ما يعين على طاعة الله تعالى واجتناب معصيته
والمحبة الضارة ثلاثة أنواع : المحبة مع الله ومحبة ما يبغضه الله تعالى ومحبة ما تقطع محبته عن محبة الله تعالى أو تنقصها فهذه ستة أنواع عليها مدار محاب الخلق فمحبة الله عز وجل أصل المحاب المحمودة وأصل الإيمان والتوحيد والنوعان الآخران تبع لها والمحبة مع الله أصل الشرك والمحاب المذمومة والنوعان الآخران تبع لها
“Cinta yang bermanfaat itu terbagi menjadi tiga, yaitu mahabbatullah (cinta kepada Allah), mahabbah fillah (cinta di jalan Allah) dan mahabbah (cinta) kepada segala sesuatu yang dapat membantu seorang semakin ta’at kepada Allah ta’ala dan menjauhi segala larangannya. Sedangkan cinta yang membahayakan terbagi menjadi tiga pula, mahabbah ma’allah (mencintai sesuatu di samping mencintai Allah), cinta terhadap perkara yang dibenci oeh Allah dan cinta terhadap sesuatu yang dapat memangkas cinta seorang kepada Allah atau menguranginya.
Cinta yang dimiliki oleh manusia tidak terlepas dari keenam perkara tersebut. Mahabbatullah merupakan sumber segala cinta yang terpuji, merupakan dasar iman dan tauhid. Sementara dua cinta terpuji yang lain merupakan penyerta cinta jenis ini.
Demikian pula, mahabbah ma’allah (mencintai sesuatu di samping mencintai Allah) merupakan sumber kemusyrikan dan merupakan cinta yang tercla. Sementara dua cinta tercela lainnya merupakan penyerta cinta jenis ini.”[6]
Kemana Cinta Harus Dilabuhkan?
Cinta diungkapkan dalam bahasa Arab dengan kata ‘al hubb’ yang berarti sesuatu yang terdalam. Jika kita memberikan sesuatu yang terdalam dan berharga kepada orang yang tepat dan patut mendapatkannya, maka kita akan berbahagia tentunya.
Sebaliknya, jika kita memberikannya kepada seorang yang tidak layak, maka hal itu akan menyebabkan kesengsaraan hidup.
Oleh karenanya, selayaknya seorang menyerahkan dan melabuhkan cintanya kepada Allah, Zat yang maha sempurna, terbebas dari segala cela, dan Dia-lah yang paling banyak memberikan kebaikan kepada dirinya. Dengan demikian, kecintaan terbesar seorang mukmin adalah ditujukan kepada Allah ta’ala, Zat yang paling pantas untuk dicintai, Zat yang menjadi curahan cinta setiap hamba.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan beberapa alasan untuk mencintai Allah dalam kitabnya Al Jawaab Al Kaafi[7], diantaranya adalah sebagai berikut:
• Secara fitrah, hati cenderung mencintai zat yang memberi nikmat dan mencintai zat yang berjasa kepadanya. Oleh karenanya, manusia wajib mendahulukan cinta kepada Allah, karena semua kebaikan dan kenikmatan yang dirasakan hanya berasal dari Allah semata. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ (٥٣)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An Nahl: 53).
• Cinta akan timbul jika ada dua motivasi, yaitu kemuliaan dan keindahan pada objek yang dicintainya. Allah itu lebih layak dicintai lebih dari segalanya karena Allah memiliki nama dan sifat yang baik dan mulia, dan hati cenderung mencintai dan senang kepada yang baik-baik.
• Setiap orang yang berinteraksi dengan anda, maka ia menginginkan imbalan keuntungan. Sementara Allah berinteraksi dengan kita karena Allah menginginkan agar kita beruntung dengan keuntungan yang paling besar dan bukan Allah yang memperoleh keuntungan. Karena itulah, Allah membalas satu dirham yang diinfakkan dengan sepuluh dirham, kemudian dilipatgandakan menjadi tujuh ratus kali lipat bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.
• Semua kebutuhan dan kepentingan anda, bahkan semua kebutuhan makhluk ditanggung oleh Allah, karena Dia-lah yang maha mulia dan dermawan. Dia memberi sebelum diminta dengan pemberian yang tidak pernah dibayangkan oleh yang meminta. Allah berterima kasih untuk setiap perbuatan kita meskipun amalan kita sedikit, bahkan Allah melipatgandakan amalan tersebut. Dia mengampuni dosa yang banyak dan menghapusnya, semua yang ada di langit memintanya setiap hari dan setiap saat.
Oleh karenanya, sungguh merugi, orang yang berpaling dari cinta Allah dan malah sibuk mencintai selain-Nya, padahal Allah tidak memiliki tendensi (kepentingan) terhadap dirinya. Betapa indah apa yang dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari ucapan beliau.
فيا حسرة المحب الذي باع نفسه لغير الحبيب الأول بثمن بخس وشهوة عاجلة ذهبت لذتها وبقيت تبعتها وانقضت منفعتها وبقيت مضرتها فذهبت الشهوة وبقيت الشقوة وزالت النشوة وبقيت الحسرة فوارحمتاه لِصْبٌ جمع له بين الحسرتين حسرة فوت المحبوب الأعلى والنعيم المقيم وحسرة ما يقاسيه من النصب في العذاب الأليم
“Alangkah meruginya seorang yang menjual dirinya dengan harga yang murah kepada selain kekasih yang pertama (yakni Allah-pen), hanya karena ingin memenuhi nafsu syahwat sementara yang akan berakhir kenikmatannya dan akan terus membawa malapetaka. Alangkah kasihan hati yang di dalamnya terkumpul dua penyesalan, penyesalan karena tidak berjumpa dengan kekasih tertinggi (Allah) dan surga yang dipenuhi kenikmatan, serta penyesalan disebabkan siksaan adzab yang berkepanjangan.”[8]
Gedong Kuning, Yogyakarta, 10 Rabiuts Tsani 1430.
__________________________
______________
[1] Raudlah al Muhibbin 1/175
[2] Raudlah al Muhibbin 1/177
[3] Raudlah al Muhibbin 1/177
[4] Syawahidul Haqq karya An Nabhani hal 352
[5] HR. Muslim no. 2567 dalam Kitab Al-Birr wa Shilah wal Adab
[6] Ighatsaatul Lahfaan 2/140.
[7] Al Jawaab Al Kaafi hal. 256-259
[8] Ighatsatul Lahfaan 2/121